top of page

Anggap Saja Mereka Menjelaskan Cara Post-Truth Bekerja

  • Writer: P. A. Ikhsanudin
    P. A. Ikhsanudin
  • Jan 29, 2019
  • 3 min read

Hari ini saya berusaha bertanya-tanya hal lain selain politik menuju pilpres 2019 namun hal itu saya rasa mengusik pikiran saya, bagaimana tidak jika mereka selalu menimbulkan wacana-wacana yang sangat membuat kepala orang bergeleng-geleng. Mungkin bahasan yang membosankan dan sangat wajar tentang politik di Indonesia yang tak jauh tentang perselisihan yang baper nan kurang Intelektuil. Jujur bagi saya kedua pasangan Calon terasa kurang menampakan kesungguh-sungguhan dalam membangun negeri. Terlalu banyak jejak pendapat yang aneh-aneh terutama dari masing-masing buzzer yang kolot khas suka bicara tanpa membaca. Politik hari ini menurut saya sama sekali tidak semakin memikat melainkan bagai nasi yang dikonsumsi terlalu banyak, yaaa semacam eneg mungkin. Bagi anak muda seperti saya yang menjadi korban mekanisme kampanye Pilpres 2019 yang melahap lahan-lahan social media kami. Belum terlalu lama pertengahan 2018 ketika Instagram sangan menarik dengan konten-konten seperti Es Kepal Milo dan candaan tentang aplikasi Tik-tok yang 4L4Y sempat meramaikan social media, itu vibes yang saya rasa pure, natural dan hegemonic terakhir yang saya rasa(mungkin) sebelum isu-isu politik menyerang social media kami tercinta.Sebelumnya saya membuka Instagram untuk have fun dan update informasi atau bisa dikatakan sebagai hiburan. Nah kini jika kita buka explore instagram yang ada hanyalah hoax dari akun abal-abal tak bertanggung jawab. Mungkin untuk pertama kali itu menarik karena dikemas dengan Isu-isu sensitive misal PKI, deskriminasi agama, masalah etnis dan Persekusi yang membuat kita membaca konten-konten tersebut karena sangat dekat dengan kondisi memori lingkungan kita. Namun dengan seiring waktu dengan bertabrakannya info-info yang berlawanan mungkin anak muda sudah mulai mempertanyakan kebenaran infonya sehingga mulai mencari klarifikasi dengan menonton acara TV seperti ILC, Rossi, Mata Najwa dan mencari ke akun berita yang lebih terpercaya. Pada akhirnya sedikit-demi sedikit mungkin mengalami filtrasi sehingga terjadi pemilahan informasi. Sehinga masyarakat sebagian ada yang menyadari dan sebagian ada yang ikut arus pada kolom komen dan terjadilah cekcok antara penghuni surga di Instagram. Bagi saya pribadi dengan noraknya Instagram dengan kondisi seperti itu membuat saya kembali asik di Twitter dimana informasi disitu lebih up to date dan banyak masyarakat dengan sense humor yang agak berkelas tidak seperti fanatis agama dan fanatis nasionalis di Instagram. Saya memfollow akun-akun terpercaya saja, tentunya saya juga tidak mau ketinggalan info politik juga sehingga saya tetap mengikuti cuita-cuitan politisi dari kedua kubu yang menurut saya agak intelek dan berbahasa toleransi. Namun kenyamanan yang saya rasakan tidak berlangsung lama setelah saya telisik juga beberapa thread politik yang ternyata mention-mention dibawahnya pun juga banyak akun abal-abal dari kedua kubu yang saling adu kepala. Saya pikir ini gila ketika isu-isu hoax sudah menjamur dimana-mana, sampai hari ini tanggal 30 Januari 2019 Trending Topic tak lepas dari kedua paslon, tentang saling mengunggulkan maupun saling baper merasa disakiti dan fitnah sana-sini. Semacam “apakah kalian kurang puas memamerkan pertunjukan yang kurang mendidik ini?” yang membuat warga kehilangan rasa kemanusiaan gara-gara mendukung salah satu paslon yang bahkan mereka tidak mengenalnya dengan baik. Lahan-lahan kami berekspresi dengan enjoy sudah digusur oleh politisi dan sekarang mereka bersama-sama membangun coloseum untuk kita saling menghina satu sama lain. Manusia yang pura-pura jadi negarawan itu sedang bersabda kepada generasi mudanya agar melek politik namun mereka mencotohkan politik dengan sangat tidak baik yang justru membuat anak muda tidak tertarik dan membuat yang tidak tahu menjadi buta dengan fanatism yang mereka manfaatkan. Lihat saja kedua Capres yang mempunyai gesekan dengan HAM, kedua Cawapres yang menjadi kantong wacana ekonomi dan islam. Saya kira anak muda hari ini jika hanya disodorkan wajah kedua paslon dan visi misi yang basi mungkin mereka akan melihat seakan dua pilihan yang sama saja. Tentu anak muda hari ini harus menerawang jauh siapa, apa, bagaimana dan mengapa beserta indicator-indikator politik di balik wajah kedua paslon tersebut, namun bagaimana orang tertarik membaca buku jika sampulnya jelek dibalut isu-isu murahan seperti itu. Sepertinya memang suatu hal besar yang politisi pertaruhkan dimoment ini sehingga mereka harus menanggalkan harga diri mereka didepan generasi muda mereka. Namun dengan cara kedua kubu yang relative sama dalam memenangkan justru mengaburkan kebenaran yang ada, saya pikir sangat sulit melihat “sedikit saja” kenaturalan dan ketulusan dedengkot-dedengkot kita yang mana mereka membuktikan bagaimana cara pos-truth bekerja.


P. A. Ikhsanudin | Surabaya 30 Januari 2019




Comments


Join my mailing list

© 2023 by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

  • White Instagram Icon
bottom of page