top of page

Manusia Berkeadilan - Keadilan Berkemanusiaan

  • Writer: P. A. Ikhsanudin
    P. A. Ikhsanudin
  • Mar 8, 2019
  • 4 min read

Dalam laku kehidupan manusia memiliki kehendak akan kebebasan dan batasan individu. Tentang realitas yang sama-sama kita jalani hari ini merupakan produk maupun residu dari hal tersebut juga. Manusia berjalan selaras mencari kesempurnaan dengan mengeksplorasi diri dan lingkungannya, namun dalam ekplorasi tersebut manusia tidak bisa mutlak dalam berkebebasan karena dibatasi oleh kebebasan antar manusia. Kontradiktif juga bahwa justru kebebasan itu sendiri yang menciptakan batasan-batasan terhadap kebebasan lain namun hal itu juga adalah konsekuensi logis akan adanya kebebasan-kebebasan tersebut. Jika dalam menjalankan kehidupan kita memiliki dua variable yaitu kebebasan dan batasan maka harus ada porsi akan kedua variable tersebut demi menghindari sengketa-sengketa antar individu dalam berkehidupan social agar terjadi yang dinamakan keadilan. Hal tersebut yang kemudian hari disebut “Hak dan Kewajiban” setelah adanya Negara yang dilandasi oleh “Hukum”. Namun keadilan social ialah buah idealism individu yang menjadikan keadilan begitu relative.


Platon dalam bukunya Thaietetos(172a-b), tokoh Sofis bernama Protagoras (490-420 SM) mengajarkan bahwa perihal keindahan, keadilan atau ketidakadilan adalah “apa yang dipercaya polis tertentu sebagai demikian dan kemudian dijadikan hukum(…) karena berkenaan dengan hal adil atau tidak adil, saleh atau tidak saleh (…) itu semua tidak memiliki kodrat dalam dirinya sendiri”. Yang artinya bahwa perihal norma dan hukum bersifat tidak otonom dan tidak ada kesejatian akan entitas tersebut(tidak berdiri sendiri), melainkan hal tersebut terbentuk oleh simpul pengalaman yang dimaksudkan akan hal tersebut. Perkara adil dan tidak adil adalah tentang tafsiran suatu keadaan atau fenomena yang enak atau tidak mengenakkan dan benar atau salah. Karena itu untuk menentukan keadilan dan ketidakadilan manusia menentukan cara meraihnya yaitu dengan hukum. Disebutkan di buku “Asas dan dasar-dasar ilmu hukum”(BAB II b) oleh Damang, S.H., M.H. dan Apriyanto Nusa, S.H., M.H. bahwa “Hukum” adalah “Aturan”, merujuk pada buku tersebut dapat disimpulkan bahwa keadilan artinya “taat terhadap aturan” dan ketidakadilan artinya “melanggar aturan”. Jika hukum adalah permaksudan dari suatu masyarakat yang disepakati sebagai aturan maka cara pembentukan aturan tersebut juga relative tergantung budaya masyarakat itu tersebut, pun juga tergantung simpul pengalaman yang dimaksudkan enak atau tidak mengenakkan dan benar atau salah oleh lingkungan tersebut. Lebih rinci lagi realitas yang ada yaitu parameter tersebut dalam per-individu juga berbeda-beda. Lantas bagaimaimana kesepakatan itu terbentuk jika bukan karena pengaruh antar individu?


Sempat di ulas pula oleh Romo A. Setyo Wibowo

Thrasymakhos berpendapat:

“Aku menyatakan keadilan adalah kepentingan mereka yang lebih kuat. Semua bentuk pemerintahan selalu membuat hukum dengan mengikuti kepentingan(mereka yang lebih kuat), baru kemudian hukum dideklarasikan sebagai adil.” (Platon, The Republic I 338c-339a)

Romo A. Setyo Wibowo menanggapi “Tak bisa dipungkiri, ini adalah pandangan jernih mengenai realitas social, yang kita tahu semua, merupakan bentukan dari kumpulan individu yang hidup bersama. Supaya hidup bersama tertata, muncul kesepakatan membuat hukum. Nyata bahwa hukum yang menopang masyarakat adalah hasil kesepakatan, dan terutama kesepakatan dari para pemimpinnya. Saat pemimpin mengeluarkan hukum, apa yang adil dengan sendirinya adalah yang sesuai dengan hukum tersebut”


Yang saya tangkap dari pernyataan-pernyataan tersebut adalah pembentukan hukum memiliki kemungkinan tidak memuaskan bagi semua pihak. Kita pisahkan subjek pembentuk hukum seperti Thrasymakhos menjadi 2(dua) yaitu antara pihak yang kuat dan lemah. Si kuat seperti raja ataupun pemimpin ialah orang yang memiliki social power sehingga bisa mendorong kesepakatan forum untuk menyepakati apa yang dikehendakinya. Memang selalu menjadi kepuasan ketika hukum yang disepakati ialah ekspresi dari pandangan kita tentang apa itu keadilan. Namun bagaimanapun orang kuat tetaplah mereka yang bisa menghendaki hukum sesuai apa yang ia inginkan, sesuai keadilan menurutnya. Lantas bagaimana jika krisis kepemimpinan menjangkit orang kuat tersebut? Tentu banyak contoh hari ini ketika kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang dirasa kurang bijaksana, korupsi contohnya. Kini jelas bawa keadilan adalah keuntungan bagi si kuat. Jika si kuat ingin menginginkan sesuatu yang dirasa adil baginya maka ia hanya perlu merubah hukum untuk mencapai keadilam tersebut, yang tentu mudah sekali baginya. Dengan ini keadilan adalah apa yang ditentukan oleh orang kuat tersebut.


Di sisi lain terjadi pertanyaan “lalu dampak apa yang dialami orang lemah?”. Orang lemah yang tidak cukup kuat untuk memaktubkan hukum yang mereka maksud tentu harus menjalani ketentuan hukum yang dimenangkan oleh orang kuat. Bagi si lemah tentu sangat menjengkelkan dikenai peraturan(hukum) yang ia rasa tidak menguntungkan baginya. Lalu mau bagaimana lagi? Bagi orang lemah yang tidak diuntungkan oleh hukum mereka tentu geram, tidak puas dan merasa tidak duntungkan oleh keadilan. Orang kuat ini tentu telah menciptakan lawan-lawan barunya. Bagi orang lemah yang merasakan keadilan versi orang kuat sangatlah tidak nikmat dibandingkan pelanggaran terhadap keadilan tersebut. Dalam karya Platon berjudul The Republic buku II, Glaukon menyatakan: “I will lay myself out in praise of the life on injustice” yang menyatakan bahwa Glaulan berdiri dalam barisan orang lemah yang cenderung melawan hukum versi orang kuat. Merujuk pada makalah Romo Setyo Wibowo “Pengantar Sejarah Filsafat Yunani: Sofisme” ditafsirkan bahwa Glaukon juga menekankan pengaruh orang lemah terhadap produk hukum dan keadilan. Bagi banyak korban keadilan orang kuat, mereka (orang-orang lemah) akhirnya mempunyai motif tertentu yang menghasilkan sebuah kepentingan untuk merebut hukum dan keadilan dari orang kuat karena ketidaksukaan mereka terhadap keadilan versi orang kuat. Pada akhirnya disini persuasi ikut andil dalam perebutan keadilan tersebut, yaitu tentang bagaimana keadilan orang kuat bisa gantikan keadilan orang lemah. Mungkin demokrasi hari ini bisa kita spekulasikan sebagai perebutan keadilan tersebut, seperti adanya voting “one men one vote” . Orang lemah tentu memiliki jumlah lebih banyak karena orang kuat ialah bagaikan macan dibandingkan kijang di hutan rimba. Jadi tergantung keterampilan macan berburu kijang dan kelicikan kijang-kijang mengelabui macan. Sepertinya Glaukon mendukung Thrasymakhos dengan predikat yang bertentangan namun dalam konotasi yang sama.


Keadilan dan Hukum, Si Kuat dan Si Lemah, mencerminkan bahwasannya hukum dan keadilan sendiri tidak mempunyai independensinya. Hukum yang dinyatakan menjadi wakil Tuhan di dunia ialah bentukan kepentingan manusia. Keadilan menurut hukum yang ada tidak berlaku mutlak atau adil yang universal. Pijakan keadilan(hukum) menjadi relative karena dibelakangnya ada kompetisi antar kepentingan manusia. Dalam perbandingan orang kuat dan lemah yang disampaikan lebih ditekankan terhadap ego-ego subjek yang bersangkutan. Dengan gagalnya manusia menemukan bagaimana keadilan yang sejati maka yang perlu ditanyakan adalah “mengapa kita harus hidup dengan adil?”, sementara dalam merumuskan keadilan selalu tercipta kesenjangan tersebut. Jika memang jawabannya ialah meyepakati ucapan Pramoedya Ananta Toer yaitu: “Bersikap adillah sejak dalam pikiran. Jangan menjadi hakim bila kau belum tahu duduk perkara yang sebenarnya” yang saya artikan keadilan berpikir sebelum keadilan social, maka definisi sejati keadilan seperti apa yang harus kita aplikasikan dalam konsepsi berpikir kita? Bagaimana mengetahui pemikiran sendiri adil atau tidak adil?


Surabaya, 9 Maret 2019


Pustaka

”Asas dan dasar-dasar ilmu hukum”, Damang, S.H., M.H. dan Apriyanto Nusa, S.H., M.H.

“Pengantar Sejarah Filsafat Yunani: Sofisme”, A. Setyo Wibowo



Comments


Join my mailing list

© 2023 by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

  • White Instagram Icon
bottom of page