top of page

Akademisi Tidak Murni, Negara Terbakar Mati

  • Writer: P. A. Ikhsanudin
    P. A. Ikhsanudin
  • Aug 22, 2018
  • 3 min read



Akademisi sebagai pelaku keilmuan untuk berjalannya sejarah seperti yang dari sedulunya ilmu selalu maju dan berkembang dengan andil para akademisi. Dalam suatu lembaga akademis misal universitas adalah tempat dimana ilmu berlalu-lalang. Pada dasarnya ilmu selalu beranak pinak melalui pandangan yang multidimensional yang disebut-sebut sebagai dialektika. Pendapat primer selalu menjadi sasaran kritik dari semua arah untuk diuji kebenarannya. Misal ketika Filsafat Idealism menjadi ideology primer pada waktu dan tempatnya kritik selalu dilayangkan oleh para penganut Filsafat Matterialisme yang sampai hari ini pun sintesa yang absolut belum bisa ditentukan keberadaannya karena eksistensi selalu menyangkut pengakuan dari manusia. Kritik dalam berdialektika adalah sebagai antithesis yang berfungsi untuk menguji thesis. Kembali ke Universitas yang akhir-akhir ini saya pikir berjalan tanpa menekankan hukum dialektika, karena saya memandang banyak sekali mahasiswa dalam tekanan ekonomi keluarga dalam menuntaskan studinya menjadi sangat terjebak dengan model pembelajaran ala Bank yang disimpulkan oleh Paulo Freire. Kebanyakan mahasiswa kampus hari ini mengalami Brain Shaping atau pembentukan otak menuju bentuk Economic Oriented. Economic oriented yang mungkin secara gamblang digambarkan sebagai “Kuliah Untuk Kerja” menurut saya adalah kecacatan Pendidikan Negara yang menganut Sosialism dalam sila nya namun menanamkan doktrin kepada mahasiswa untuk mengeruk keuntungan dalam persaingan liberal local. Tidak terkontrolnya tekanan emosional yang mendorong mahasiswa segera menjadi kaya ini yang saya simpulkan sebagai kecacatan Universitas karena tidak adanya pengerucutan mahasiswa sebagai intelektual sejati dengan menyeimbangkan antara peran intelejensi, emosi dan spiritualitas dalam otak. Karena peran intelejensi sebagai pemecahan masalah yang terukur hanya bisa di kendalikan dalam peranan 3 funngsi yang seimbang atau penciptaan gelombang otak yang stabil sehingga perspektif dan narasi yang dibangun dalam pola pikir menjadi objektif. Jadi tidak heran jika banyak orang kaya mati miskin – kaya mati miskin lagi. Hingga masa perkuliahan saya hari ini saya tidak pernah mendapatkan ilmu tentang control kognisi itu. Dalam sistim perkuliahan mahasiswa akan sangat galau jika mendapatkan nilai yang buruk sehingga dorongan emosional membangun perspective mahasiswa manyasaar focus pada nilai-nilai rekayasa akademik. Mahasiswa yang mendapat nilai buruk akan menjadi sangat kritis dan skeptic dan terus mengorek-ngorek data empiris dalam otaknya untuk menemukan benang merah kausalitas, sementera dengan nilai yang bagus mahasiswa cenderung diam dan bahagia dan mudah percaya, ibarat orang dipuji semakin melayang dan dikritik semakin membela diri. Nilai-nilai akademik ini dipandang aneh dan di dikotomikan oleh ketidakstabilan emosional mahasiswa sehingga perbedaan nilai A dan E memiliki sensitivitas yang berbeda. Tanpa mengingat-ngingat apakah mereka memahami bahan ajar secara buta protes dilayangkan yang akhirnya menjadi kritik sampah dan tidak cukup untuk menguji sasaran kritiknya. Yang menjadi masalah lagi Universitas jarang sekali mempunyai role model yang bisa dicontoh oleh mahasiswa sebagai sosok intelektual murni dalam artian sudah tuntas dalam keseimbangan otak. Penokohan oleh mahasiswa hanya terjadi berkat dagang emosional, karena memiliki perasaan yang bersinkronisasi sehingga kecocokan emosional menjadi tonggak utama mahasiswa hari ini memiliki nilai dengan point tinggi. Alangkah hinanya ketika tenaga pengajar terjebak dalam kubangan emosional dengan mahasiswa, bukankah kecocokan itu seharusnya terjadi dalam pemahaman yang lebih intelektuil, misal gagasan, kecerdasan perspektif atau dalam satu bidang keilmuan? Misal jika pada skripsi kita memberi bingkisan yang lebih mewah akan menjadikan kesepahaman antara mahasiswa dan dosen, dapatkah kita melihat aktifitas akademik didalamnya? Keseimbangan kognitif? Yang ada adalah bahan ajar dalam evaluasi ditentukan oleh bingkisan. Sudah jelas sekali peranan bingkisan itu yang menjalin keterkaitan emosional di dua pihak. Menurut saya contoh kasus seperti itulah yang saya pandang sebagai kemangkrakan hukum dialektika dalam Universitas. Mahasiswa dididik langsung secara social emosional bukan intelektual keilmuan. Bukan bermaksud menghilangkan peran perasaan dalam hubungan social. Namun dalam studi dan perkuliahan bukankah hubungan pendidik dan pelajar adalah tentang ilmu dan pengetahuan? Yang membentuk kepribadian dengan nalar yang kritis dan dialektis sehingga mahasiswa bisa memakai haknya untuk skeptic dalam perannya sebagai akademisi.Di hari ini contohnya sebagai peristiwa akan dampak cacatnya pendidikan adalah akademisi hari ini tanpa nalar kritisnya mudah diserang oleh peperangan dua kandidat jabatan electoral. Sehingga peran akademisi kebanyakan dalam demokrasi adalah sebagai buzzer yang fanatic atau menjadi apatis terhadap demokrasi. Peran akademisi dalam mengkritik berdasarkan emosi kepada lawan bapaknya hari ini, menjadi lebih seram ketika akademisi mengkritisi Demokrasi dengan emosi. Maka tidak heran jika masyarakat Indonesia hanya naik satu kasta dari Budak menjadi Pekerja karena keangkuhan otak akademisi. Dan juga jangan menjadi heran jika kita dari dulu hanya impor ilmu dari Negara-negara besar.


P. A. Ikhsanudin

Surabaya, 22 Agustus 2018

Comments


Join my mailing list

© 2023 by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

  • White Instagram Icon
bottom of page