Dunia Dan Intelektualnya
- P. A. Ikhsanudin
- Jul 29, 2018
- 4 min read

Siapakah yang disebut sebagai intelektual itu? Menurut Chomsky identitas Intelektual harus diperjelas lagi setelah terjadinya “Manifesto Intelektual” pada 1898. Emile Zola melayangkan protes melalui surat terbuka terhadap terhadap Presiden Perancis perkara dihukumnya Alfred Dreyfus yang dituduh sebagai penghianat dan mata-mata militer. Para pendukung Dreyfus seperti Zola melambangkan sosok Intelektual sebagai orang yang menegakkan keadilan , berani membela rakyat, menyerang pemerintahan dengan penuh integritas. Namun ironisnya, sosok intelektual seperti yang digambarkan itu justru tidak dipandang seperti itu pada masa itu. Dreyfusard konon kerap dikucilkan oleh intelektual-intelektual arus utama yang menilai orang seperti Dreyfusard adalah orang yang urakan dari bangku perkuliahan. Justru para intelektual ternama menganggap lucu para ahli seperti penulis, ilmuwan, professor yang dengan kurangajarnya mencaci pemerintahan. Sehingga hari ini kita dihadapkan terhadap dua dikotomi “Intelektual”, Intelektual minoritas seperti Zola atau seperti para intelektual Arus utama yang bangga akan pemerintah.
Pada perang dunia I, banyak intelektual dari Negara masing-masing untuk membela negaranya masing-masing juga. Terutama jerman yang menyeru kepada Negara lain untuk bersatu dengan jerman disertai pengukuhan bahwa mereka akan menyelesaikan perang hingga usai “sebagai bangsa yang beradab” dengan embel-embel mempertahankan warisan intelektual dunia dalam sejarah ternamanya seperti pianis Beethoven, filsuf ternama Immanuel Kant dll. yang terlahir di Jerman. Tentu menjadi tanggungan setiap Negara untuk mempertahankan warisannya masing-masing. Pertanyaan pertama adalah bagaimana para intelektual ini mengiyakan terjadinya peperangan, di sisi lain para intelektual juga berpihak pada pasifisme. Aneh dan lucu bagaimana kata “intelektual” sebagai subjek yang tak lepas dari adjektiva nya bisa berpihak di dua poros berlawanan. Contoh saja kita analogikan sebagai Es, ada Es yang mengusir panas dan ada Es yang mengundang panas. Es subjek benda yang jelas jelas mengusir keberadaan panas dan Intelektual merupakan subjek manusia dengan sifat cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan pengetahuan.
Dalil A: intelektual berpikiran jernih
Dalil B: Intelektual memicu perang
Dan jika dalil A dan B diterima maka akan menimbulkan sintesa bahwa: Perang adalah hasil dari kejernihan pikiran Intelektual. Tentu menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kejernihan pikiran bisa menimbulkan perang yang kelabu
Perang yang pada kenyataannya menimbulkan banyak korban jiwa dan menjadi kejahatan manusia terbesar sepanjang sejarah terhadap alam maupun kemanusiaan itu sendiri justru dihasilkan oleh pemikiran para intelektual. Namun akhir dari perang yang menyelamatkan juataan jiwa dari hujaman perang juga merupakan sebuah karya dari pemikiran Intelektual.
Di Indonesia sendiri Presiden Soekarno adalah contoh intelektual di pemerintahannya namun bagaimanapun juga seorang Soe Hok Gie yang mengamini keruntuhan Soekarno juga dicap sebagai tokoh Intelektual . Bukankah jika sama jernih akan satu kolam?
Dalam buku “Who rules the world?” karya Noam Chomsky, intelektual dibedakan menjadi dua macam, disatu sisi yang dicap “Intelektual berorientasi nilai” yang dalam stereotype nya selalu dicap sebagai pembakang seperti Nelson Mandela yang menjadi langganan tahanan. Di sisi lain yang turut membantu kesuksesan kebijakan pemerintahan seperti PM Inggris Winston Churcill yang berkatnya rakyat Inggris lepas dari cengkraman Hittler pada PD II, intelektual macam inilah yang di sebut “Intelektual Teknokrat” yang orientasinya kepada kebijakan. Lalu apakah sesungguhnya peran intelektual? Apakah bertindak sebagai manusia seutuhnya untuk menegakkan hak dasar manusia? Ataukah membantu terselenggaranya pemerintahan? . Pertanyaan yang sulit akan tetapi yang jelas dan pasti adalah Intelektual harus melakukan kewajibannya. Dalam menajalankan kewajibannya kaum intelektual teknokratlah yang menurut Chomsky yang lebih bertanggung jawab dengan menduduki jabatan dan melayani pemerintahan dan mendukung kebijakan penguasa sehingga mereka lebih aman, mungkin saja intelektual berorientasi kebijakan dikatakan bertanggung jawab karena kewajibannya hanyalah mentaati otoritas penguasa yang sifatnya menyeluruh dari pada intelektual berorientasi nilai yang dicap sebagai pembangkang dan ditolak oleh etika pemerintahan yang tak sedikit berakhir pada jeruji besi. Namun bukan berarti Intelektual berorientasi nilai tidak menjalankan kewajibannya. Intelektual berorientasi nilai bertanggung jawab dengan menyuarakan hak-hak minoritas yang mungkin tidak tersorot oleh pemerintahan dan melawan segala kebijakan yang dipikir kurang bijaksana bagi mereka. Bukan tanpa alasan mereka berlaku ala bar-bar dan anarkis karena mereka juga dituntut mencolok untuk diperhatikan sebagai minoritas. Memang kedua golongan intelektual sering berlawanan dikarenakan mereka mempunya tata nilai yang berlawanan.
Bukan suatu yang mengherankan karena berjalannya sejarah memang sudah dirancang untuk berdialektika. Pada masa Yunani seorang intelektual di Athena harus dipenjara dan meminum racun karena dituduh meracuni pikiran anak muda kala itu dalam perjalanan intelektualnya mencari kebenaran, sebut saja Socrates. Di Indonesia sendiri pada masa penjajahan pun Soekarno juga sebagai Intelektual berorientasi nilai yang lantang menyuarakan kaum minoritas untuk merebut kemerdekaan, namun setelah merdeka Soekarno pun bergeser menjadi intelektual teknokrat sebagai Presiden dalam pemerintahan dan akhirnya melahirkan Intelektual yang berorientasi nilai yang lebih muda macam Soe Hok Gie. Lenin dan komunis juga berperan sebagai intelektual yang berorientasi nilai dengan berjuang bersama kaum buruh untuk menggulingkan Tsar, namun setelahnya jajaran pemerintahan Uni Soviet juga mendapat banyak serangan karena Revolusi Permanennya. Untuk menemukan kebenaran dalam kehidupan atau juga kesejahteraan bermasyarakat memerlukan dialektika yang panjang dan besar dari berbagai pandangan dimuka bumi, berbeda halnya dengan penemuan rasio sederhana seperti buku dengan dua cover berbeda. Sepanjang sejarahnya, ide maupun gagasan akan terus diuji dan berkompetisi dalam pertemuannya dengan gagasan dan ide lain dalam sepanjang dialektika sehingga akan mengerucut pada gagasan paling unggul yang berarti rasional disamping berjalannya Evolusi Sosial Global.
Tentang fungsi intelektual yang sentral dengan kejernihan pikiran bukan berarti menimbulkan satu pemikiran yang sama serentak. Kejernihan pikiran bersifat relative tergantung kepada dimana ia berpihak. Oleh karena itu pertemuan antar pihak harus segera terjadi untuk mempercepat lahirnya sintesa-sintesa baru, terutama di era globalisasi dimana informasi bisa bepergian bertemu dan bertabrakan kemanapun dimanapun. Yang dapat saya simpulkan tentang peranan pokok dari Intelektual tidak mampu banyak saya kemukakan, karena sudah jelas sekali dengan yang dihasilkan sejarah hari ini adalah gagasan-gagasan rasional dari kompetisi ide antar intelektual. Maka tugas intelektual yang diberikan oleh dunia adalah untuk berdialektika hingga menghasilkan kebenaran yang absolut, entah dengan waktu yang cukup atau tidak kita tidak akan pernah tahu namun itu bukan suatu hal yang mengecewakan misal belum tercapai hingga peradaban menemui ajalnya, karena menurut saya kebenaran ada bukan untuk ditemukan namun untuk dicari
Malang, 29 Juli 2018
コメント