Kaum Intelektual Bangsa?
- P. A. Ikhsanudin
- Feb 23, 2018
- 6 min read
Updated: Jun 2, 2018
Poros pergerakan bangsa tak lepas dari peran kaum intelektualnya, hal ini telah terbukti dalam perjalanan bangsa-bangsa dunia, contoh saja diantara tokoh-tokoh sejarah India dengan Mahatma Gandhi, Uni Soviet dengan Vladimir Lenin, Afrika Selatan dengan Nelson Mandela, Kuba dengan Fidel Castro, tentu saja Indonesia dengan Soekarno dan masih banyak lagi diantara belahan dunia lainnya.
Di Indonesia sendiri sejak pra-kemerdekaan dalam perjuangannya yang lekat dengan kaum intelektualnya sejak berdirinya Boedi Oetomo hingga tokoh-tokoh seperti HOS Cokroaminoto, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Sukarni, Muhammad Hatta dan lain-lain. Hingga proklamasi kemerdekaan 1945 yang menjadi jembatan emas untuk bangsa Indonesia menuju kebebasan bernegara. Pada pasca-kemerdekaan pun tak lepas sama sekali pula dari kaum intelektual yang di ikoni oleh Soe Hok Gie dan kawan-kawannya dalam meluruskan pemerintahan tetap pada jalurnya dengan meruntuhkan pejabat-pejabat Negara yang korup dan tak lagi amanah, selanjutnya pada tahun 1998 yang menjadi luapan memberontaknya demokrasi kita terhadap rezim otoriter Orde Baru di bawah kuasa Soeharto yang klimaksnya pada krisis moneter, lagi-lagi kaum intelektual menunjukan fungsinya sebagai poros pergerakan dalam mengawal dan membangun negara dengan mendorong Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden dan reformasi untuk tatanan pemerintahan.
Mulai dari pra-kemerdekaan hingga reformasi 98 bisa di nalar bahwa perjalanan tongkat estafet yang di perani oleh kaum intelektual ini terus berpindah tangan dari masa ke masa. Di sini jelaslah peran sentral kaum intelektual sebagai kelas yang berpikir bagi perjalanan bangsanya, bahwa kondisi Negara selalu berparameter idealism dari para kaum intelektual sehingga segala kondisi yang tidak selaras dengan pandangan ideal kaum intelektual segera akan runtuh.
Diantara sinergi status quo dan idealsme kaum intelektual menjadi tuntutan bagi kaum intelektual untuk mematok parameter yang membawa kemajuan dari waktu ke waktu sehingga status quo dapat menuju taraf kualitas kemajuan bangsa. Dengan kondisi kaum intelektual yang update dan mempunyai kualitas idealism yang tinggi seperti tercatat pada sejarah di atas maka Negara segera menyesuaikan pada jalur yang ideal menuju sosialisme yang di cita-citakan dan mempermudah generasi selanjutnya untuk meneruskan perjuangan bangsa. Tidak seperti pada masa rezim Orba dimana idealism kaum intelektual harus di bungkam secara procedural, dan maraknya terror yang membuat idealisme sulit menampakan dirinya terhadap kondisi yang mengalami penyimpangan sehingga garis status quo tidak bisa stabil berjalan beriringan dengan garis edar idealnya, dan akhirnya perjuangan mangkrak beberapa dekade hingga melahirkan krisis moneter. Tetapi betapa kuatnya sebuah idealisme yang tak ada mati-matinya tetap bertumbuh melawan represifitas zaman sehingga memicu reformasi 98 dan lagi-lagi kaum intelektual menunjukan fungsinya sebagai poros perjuangan.
Dari sejarah tersebut dapat di telisik bahwa kaum intelektual adalah kaum yang berpikir dengan wawasan kebangsaan dan segala tindakannya mempunyai dampak pada perjalanan bangsa Indonesia, sehingga idealism mempunyai garis edar yang benar-benar ideal, di situlah kaum intelektual berkewajiban mempunyai sifat nasionalism yang kolektif sehingga dapat bermisi kegotong-royongan menuju visi socialism.
Dapat pahami tadi pada sejarah rezim orba dimana idealism tidak bisa menampakkan wujudnya dibawah terror dan represifitas, sehingga kaum intelektual tidak bisa bergerak secara radikal dan berujung pada momentum krisis moneter (krismon). Kata kunci berada pada tidak berdayanya kaum intelektual sehingga berdampak pada penyelewengan kondisi pemerintahan yang lepas dari garis edarnya, lalu bagaimana jika kaum intelektual tidak bisa menampakan dayanya lagi dengan kemasan yang berbeda, karena tidak bisa di pungkiri bahwa sejarah pasti berulang dengan konsep yang berbeda pula. Kaum intelektual yang tidak mempunyai daya untuk mengidealkan garis edar perjuangan, tidak menutup kemungkinan juga bahwa kaum intelektual malah mengikuti garis status quo yang ada dengan pasrah ketika tidak lagi mempunyai daya, sama sekali redup dan malah hanya memantulkan cahaya dari kondisi yang ada, bukankah jika kita telisik sendiri dari sejarah kita bahwa yang menyinari kondisi yang ada adalah kepedulian dari kaum intelektual tersebut,tidakkah ini sudah suatu hal yang terbalik jika benar-benar terjadi? Dan apakah kaum tersebut masih pantas menyandang gelar “intelektual”? intelektual sendiri dapat diartikan menurut Wikipedia: ”Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya,” jadi Intelektual tak lepas dari pekerjaan berpikir secara harfiahnya dan dalam lingkup politik dan pemerintahan atau kenegaraan berdasarkan sejarahnya. Sedangkan “Kaum intelektual” adalah kumpulan orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja dan belajar dalam wawasan kenegaraan, maka jika individu maupun kaum atau bangsa yang tidak menggunakan kecerdasan untuk bekerja dan belajar dalam wawasan kenegaraan dapat di simpulkan bukan sebagai “Intelektual” maupun “kaum intelektual”.
Lalu apa yang dapat kita rasakan pada masa modern hingga post-modern ini terutama di Indonesia yang kaum intelektual didominasi oleh para kader partai yang mengerucut pada jabatan pemerintahan yang menurut saya mirip sekali dengan sejarah Uni-Soviet pada pergerakan Bolshevik dengan Marxisme-Leninismenya dimana dengan pergerakan kaum buruh, diceritakan bahwa kaum buruh tidak mempunyai intelektualnya maka intelektual partailah yang harus menggerakkan buruh menuju revolusinya atau bisa dikatakan otaknya berada dipartai sedangkan raganya berada di kaum buruh.
Dalam konsep intelektual oleh Antonio Gramsci, intelektual dibagi menjadi dua macam yaitu Intelektual Organik yang dijelaskan bahwa intelektual bukanlah individu yang mencabut statusnya sebagai masyarakat atau rakyat, dan yang kedua yaitu Intelektual Tradisional yang dijelaskan bahwa intelektual sebagai orang yang berstatus sebagai intelektual dan memisahkan dirinya dari masyarakat atau rakyat. Dan Gramsci memandang Intelektual Tradisional sebagai sebuah kekeliruan karena menurutnya kaum buruh harus mempunyai intelektualnya sendiri sehingga bisa memantapkan hegemoni sosialnya menuju gerakan yang kolektif.
Maka dari itu jika kita bandingkan dengan Indonesia yang tak halnya kaum buruh melainkan segenap kaum Marhaen harus memiliki Intektualnya agar tercipta sebuah gerakan yang kolektif, nah disitulah segenap pengertian tentang “Intelektual” supaya rekan-rekan tidak terpaku bahwa Intelektual adalah Mahasiswa saja melainkan Mahasiswa adalah sebagian dari “Kaum Intelektual”, maka segeralah mahasiswa melepaskan sifat “Intelektual Tradisionalnya” yang memisahkan diri dan membatasi dirinya menjadi suatu kalangan yang terdidik sebagai sebuah status masyarakat dan memisahkan dirinya dari masyarakat itu sendiri karena ini menurut saya adalah sebuah tindakan yang separatis, melainkan mahasiswa adalah sebuah sandangan status sebagai orang yang terdidik dalam lembaga pendidikan saja, dan hanya sekedar itu pengertian mahasiswa seperti yang dijelaskan oleh Wikipedia: “Mahasiswa adalah sebutan bagi orang yang sedang menempuh pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi yang terdiri atas sekolah tinggi, akademi, dan yang paling umum adalah universitas.”, maka dari itu segeralah mahasiswa beralih menjadi Kaum Intelektual sesungguhnya yaitu “Intelektual Organik” dan melebur bersama rakyat sebagaimana mestinya.
Prihatin sekali melihat kondisi masa ini ketika mahasiswa yang diakui oleh masyarakat sebagai kaum yang tertolong karena berkesempatan belajar di lembaga pendidikan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang, akan tetapi melupakan statusnya sebagai masyarakat dan melakukan tindakan separatis dengan menganggap mahasiswa sebagai status di luar masyarakat, di tambah lagi dengan produktifitas yang mandul tanpa sadarnya akan wawasan nasionalismnya, dimana kecerdasannya digunakan untuk bekerja tidak dalam wawasan kenegaraan melainkan untuk menyelamatkan nasibnya sendiri tanpa mempedulikan nasib orang lain dengan bergerak secara individual, karena menurut saya benar yang dikatakan Presma BEM KM UGM yaitu Obed Kresna,” pasar telah mengendalikan ruang-ruang kelas, sehingga bukan logika kemanusiaan yang ada di dalam kelas tetapi logika persaingan, logika kompetitif, kemanusiaan tidak lagi menjadi arah perjuangan mahasiswa sekarang.” Bahwa yang saya tangkap adalah terjadinya ketimpangan porsi antara kemanusiaan dan kompetisi sehingga terjadi pergeseran substansi mahasiswa yang idealnya terdidik sebagai intelektual yang porsinya seimbang antara kemanusiaan dan kompetisi bergeser menjadi kaum terdidik yang berorientasi menjadi ahli dalam pekerjaan keprofesian untuk memenuhi kebutuhan pasar sehingga dalam lingkungan berkompetisi memenuhi persyaratan pekerjaan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah kemanusiaan yang ada.
Nah sudah bisa rekan-rekan pahami bahwa penyandangan gelar “Intelektual” bagi mahasiswa pun sebenarnya juga perlu di pertanyakan ketika mahasiswa hanya menggunakan kecerdasannya untuk berkompetisi dalam lingkup individunya saja, lalu jika kita kembalikan kepada definisi Intelektual seperti yang sudah kita bahas tadi apakah mahasiswa dengan type seperti itu masih bisa dikatakan sebagai intelektual? menurut saya jelas tidak dan disini dapat saya tarik kesimpulan bahwa tidak semua Mahasiswa adalah Intelektual seperti yang didefinisikan di atas. Kembalikan saja pada dasarnya, mahasiswa mana yang tahu sejarah ideology Indonesia?, yang mengerti pentingnya nasionalisme?, apakah mereka memperhatikan kebijakan pemerintah yang menguntungkan atau merugikan rakyat?, tahukah mereka tentang keputusan kontroversial wakil rakyatnya?, tahukah mereka berapa orang yang sulit mendapatkan kebutuhan pokok sandang, pangan, papan?, berapa yang tahu tentang tindakan pelanggaran hak dan kewajiban warganegara?, apakah mereka tahu betapa maraknya sengketa yang tragis di kulon progo? Dan apakah mereka tahu fungsi mereka sebagai makhluk sosial?
Mari kita kembali ke alur sejarah dan ke idealan garis edar perjuangan bangsa, lantas dengan tercerminnya kondisi di atas apakah masih mampu tongkat estafet berjalan dengan lengkah yang Revolusioner ketika sejarah terulang kembali dengan konsep yang berbeda akan keberdaya-an kaum intelektual masa ini yang tanpa represifitas rezim pun tak bisa menampakkan keidealan idealismenya sebagai parameter bergulirnya kondisi dari zaman ke zaman, lalu apakah kita harus pasrah saja terhadap mangkraknya perjuangan bangsa? atau kita bersikap menjadi mistikus seperti para pendukung “Internazionale II” yang menganggap Marxisme sebagai ideology kontemplatif bahwa Revolusi Sosialis harus menunggu puncaknya Kapitalisme tanpa diperjuangkan. Untuk itu saudara-saudaraku segeralah menyusun kesadaran sebagai Intelektual Organik dan merenggut kembali peran sebagai Kaum Intelektual yang melandasi Idealisme yang benar-benar Ideal dengan tidak hanya berwawasan kepentingan indvidu melainkan turut berwawasan Nasionalisme yang menghantarkan kita menuju akan sadarnya dampak dari setiap dinamika Intelektual terhadap nasib orang banyak sehingga kita bisa menentukan langkah-langkah mana yang benar-benar ideal dan terhadap perjalana tongkat estafet dan perjuangan bangsa Indonesia.
コメント