top of page

Kembalikan Tata Nilai Politik, Politisi Harus Bertanggung Jawab

  • Writer: P. A. Ikhsanudin
    P. A. Ikhsanudin
  • Aug 8, 2018
  • 4 min read

https://pixabay.com/en/startup-start-up-people-593341/

Akut sekali bagi saya magaimana masyarakat hari ini menyalah pahami politik itu apa, bagaimana dan mengapa politik? Politik yang di KBBI ditafsirkan sebagai Ilmu tata Negara mengalami pembengkokan arti ketika digunakan oleh dan terhadap masyarakat. Ketika mendengar politik pada waktu itu juga terbayangkan jabatan, sekaligus kaya, sekaligus korupsi. Di lingkungan saya tinggali malah jadi lebih parah ketika mendengar politik yang berarti pada waktu itu juga adalah masa kampanye atau pra-coblosan. Waktu saya SMA saya tidak tahu apa itu politik kecuali Koruptor seperti Gayus Tambunan yang ngehits pada momennya. Kalimat “Tikus Berdasi” sudah menjadi klise yang membosankan namun sulit sekali hilang terutama pada masa perkembangan. Dan ketika saya mahasiswa, kata politik adalah kata yang asing atau mungkin lebih seperti “Bodoh amat, ga penting” karena mungkin kebanyakan mahasiswa pada masa lalunya mengalami hal yang sama seperti saya waktu SMA sehingga otak memiliki semacam trauma terhadap memori itu.


Waktu ada coblosan gubernur di kampung saya kalimat yang menjadi trending topic adalah “Oleh duek piro” yang artinya ‘dapat uang berapa”. Ketika coblosan kepala desa malam sebelum coblosan warga begadang sambil menunggu amplop misterius, atau kadang jika malam tidak ada ya berarti paginya di pinggir jalan. Begitulah potret politik di akar rumput dimana politik dilihat dengan kacamata uang sehingga jika ada gagalnya ya karena uang(baca: kasus korupsi) dan jika ada suksesknya ya karena uang(baca: sukses korupsi) juga, begitulah program daripada kacamata tersebut.


Politik ini jika diibaratkan manusia adalah bayi yang diasuh oleh orang tua yang mata pencahariannya mencuri dan berkelakuan tidak baik sehingga ketika dewasaa bayi ini cenderung mempunyai kemiripan ]perilaku dengan orang tua karena pada waktu bayi dia meniru perilaku orangtuanya sehingga ia cenderung berkelakuan buruk dan dicap buruk juga oleh masyarakat. Orang yang berkebiasaan buruk ketika sesekali melakukan hal baik pun tetap saja secara keseluruhan ia adalah orang yang buruk. Dan yang paling cocok sebagai orang tua dari politik adalah para politisi itu sendiri yang mewarnai politik menjadi demikian buruk dan bertolak belakang dengan kondisi Ilmu Politik yang pure dan sangat selaras jika di analogi kan bahwa Politik itu sendiri adalah Bayi manusia yang juga fitrah atau suci. Politik disemua Negara lahir sebagau Ilmu yang sama namun memiliki orang tua atau culture yang berbeda sehingga lama-kelamaan menjadikan perbedaan antara politik yang satu dengan yang lain.


Politik di Indonesia sendiri seperti yang saya ceritakan pada awal sebagai pengalaman rakyat sipil tentang bagaimana mengamati citra politik di akar rumput atau di masyarakat kita yang menurut saya sama sekali bertolak belakang dengan politik yang saya pahami di buku-buku mulai dari etimology nya “Polos” dan “Logos”, konsep republic plato sampai trias politica yang bernilai positif lalu disisi lain masyarakat kita menilai politik dengan kacamata uang yang berkonotasi negative. Tidak serta merta bisa dicap menjadi dikotomi instan yang tanpa sebab melainkan dengan berjalannya sejarah dan perubahan pola social yang ada masyarakat kita.

Pertama yang perlu diketahui adalah mayoritas penduduk kita menurut saya(maaf tanpa data) mengalami buta politik. Buta yang artinya tidak bisa melihat, bukan berarti tidak mau melihat. Adapun spekulasi mengapa masyarakat gagal merespon politik secara real adalah sebagai berikut:

1.Masyarakat kurang berpendidikan sehingga tidak mempunyai teleskop untuk melihat politik yang jauh dari dunianya, bahkan kebanyakan manusia yang beruntung mengenyam bangku pendidikan masih tidak bisa melihat apa itu politik

2.Tidak adanya pendekatan objek pembelajaran yang membuat politik bisa dijangkau karena dekat dan dapat dipelajari contoh sosialisasi

3.Jikapun sudah dekat kitapun menghadapi framing dengan berbagai macam pencitraan dan penghancuran nama baik sehingga tidak bisa melihat realitas apa adanya dari semua sisi untuk menemukan objektivitas

4.Krisis role model dari politisi sehingga meskipun kita melihat dari semua sisi yang ada memang kenyataannta politisi tidak bisa memberikan edukasi yang bernilai positif terhadap masyarakat


Itulah empat spekulasi menurut saya tentang miss perception dari politik karena menurut saya yang menentukan kondisi tanah adalah bagaimana ia bertemu air. Menurut kesadaran politik memang benar-benar harus dibangunkan. Omong kosong jika para politisi berbicara bahwa politik itu baik akan tetapi mereka mendidik masyarakat dengan sogok-menyogok, dengan isu sara dan lain sebagainya. Politik sendiri ialah ilmu yang menuntun suatu bangsa untuk menentukan nasib suatu Negara sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hendaknya Politisi harus bisa mengedukasi masyarakat dan menjadi role modele atau tauladan sebagai sosok negarawan jika mungkin mereka pedul dan membutuhkan regenerasi. Dalam demokrasi banyak sekali jani-janji kampanye yang tidak di tepati, padahal norma yang ada pada masyarakat adalah bahwa “janji itu harus ditepati” sehingga menjadikan hal yang kontradiktif yang lama kelamaan politisi membalik norma-norma masyarakat yang ada. Kebalikannya adalah bagaimana politisi bisa membalikkan cap kotor politik dimata masyarakat menjadi suatu nilai yang positif karena ketika wabah ini terus menjamur dari masa ke masa tidak menutup kemungkinan bahwa bangsa akan kehilangan hasrat dalam berpolitik yang berujung pada hilangnya fungsi akan terbentuknya suatu Negara.

Mungkin hari ini saya juga belum mendengar anak-anak muda bahkan akademisi yang menuntut pertanggung jawabanpara politisi akan hal tersebut. Bisa saja karena yang saya tulis merupakan hoax semata atau bahkan bisa juga kondisi political blind itu sudah terjadi. Adanya dikotomi dua definisi politik yang bagi saya adalah wabah Negara karena menyebabkan perbedaan elite dan rakyat menjadi semakin kontras. Bagaimana tidak hal ini menjadi sebuah paradox ketika para elite bersaing sementara rakyat tidak ikut andil namun bagaimana mungkin rakyat bisa turut andil jika masih buta akan politik. Namun saya pribadi sangat yakin kepada para manusia yang melek politik terutama akademisi yang seharusnya juga memerhatinkan kasus pembunuhan karakter dari kata “Politik” yang seharusnya tidak dilakukan oleh politisi. Karena itu bagi saya penting dan bahkan penting sekali pengembalian tata nilai untuk berjalannya regenerasi yang revolusioner. Di sinilah para politisi harus merasa bertanggung jawab akan apa yang mereka lakukan terhadap politik! Bahwasannya politisi tidak hanya berkewajiban memikirkan etika politik sesama elite namun juga harus memikirkan residu yang dikonsumsi oleh masyarakat.


Malang, 8 Agustus 2018

Comments


Join my mailing list

© 2023 by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

  • White Instagram Icon
bottom of page